Melihat kondisi dan berbagai pertanyaan yang muncul tersebut, maka Kemenpora mengadakan kegiatan Workshop Pemanfaatan IPTEK (Batik) Pemuda selama 3 hari pada tanggal 19 s/d 21 Juni 2014. Kegiatan yang berlangsung di Syariah Hotel Solo, Jawa Tengah ini dibuka pada hari Kamis (19/6) malam oleh Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Yuni Poerwanti.
“Dengan adanya workshop ini diharapkan menjadi sarana dalam menyadarkan akan pentingnya inovasi dan akselerasi dalam menghadapi tahun 2015, dan teknologi batik bisa dijadikan sebagai sarana memperkuat batik sebagai kekayaan bangsa yang sudah ditetapkan oleh UNESCO,” kata Yuni Poerwanti.
Kegiatan ini diikuti 70 orang perwakilan mahasiswa dan pegiat batik Solo. Peserta diharapkan mendapatkan wawasan yang lebih dalam melihat sudah sejauhmana perkembangan IPTEK dalam menopang industri batik, khususnya di kota Solo yang merupakan salah satu sentra Batik di Indonesia. Pelatihan ini menghadirkan beberapa narasumber antara lain Nova Suparmanto (penemu kompor batik listrik hemat energi ASTUTIK) dan Nur Ahmadi (penggiat batik) dengan materi tentang proses pembuatan batik dan perkembangan penerapan IPTEK dalam sektor batik.
Ada berbagai teknologi yang sudah dikembangkan dalam sektor industri batik, secara umum dibagi menjadi 2, yaitu teknologi perangkat keras (hardware) dan juga teknologi perangkat lunak (software). Diantaranya adalah pembuatan canting elektronik oleh mahasiswa dan juga beberapa masyarakat, pengembangan kompor batik menggunakan berbagai alternatif energi seperti gas maupun listrik). Beberapa sekolah juga telah mengembangkan mesin semacam printer untuk membuat batik menggunakan bantuan komputer. Pada kategori software, juga telah dikembangkan sebuah program maupun aplikasi yang membantu pengguna untuk membuat sebuah motif batik menggunakan prinsip perhitungan matematis.
Berbagai teknologi tersebut memang diharapkan dapat membantu mempercepat proses pembuatan batik oleh para pengrajin batik, serta mampu meningkatkan popularitas batik dan mengangkatnya ke level yang lebih tinggi. Bapak Nur Ahmadi menyampaikan bahwa tidak seluruh teknologi tersebut mengurangi dari nilai batik itu sendiri.
“Selama teknologi yang dikembangkan tidak merubah secara signifikan, maupun mengurangi dan menghilangkan berbagai proses, bahan serta tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang batik, maka teknologi tersebut justru menambah nilai”, lanjut Bapak Nur Ahmadi. Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila ada perbedaan dengan SNI, misalnya pada mesin printing batik, malam (lilin) yang digunakan adalah malam dengan suhu yang dingin, padahal sesuai dengan SNI bahwa dalam proses pembatikan, malam yang digunakan harus dalam kondisi suhu yang panas. Sehingga teknologi tersebut bisa mengurangi dari nilai batik itu sendiri.
Selain penyampaian materi tersebut, peserta workshop juga langsung diajarkan untuk membuat batik menggunakan penerapan IPTEK dalam bentuk inovasi kompor listrik hemat energi. Kegiatan membatik dimulai dari proses pembuatan motif sampai dengan pewarnaan dan batik sudah jadi dalam media kain ukuran kecil. Melihat fakta bahwa Solo belum memiliki motif batik yang khas, maka peserta diarahkan untuk membuat desain motif batik yang harus ada unsur kota Solo. Salah satu karya yang dihasilkan yaitu desain batik serabi solo bakar oleh mahasiswa UNS yang menggambarkan ke-khas-an kota Solo. Desain berupa bulatan-bulatan serabi yang disusun rapi ini menjadi desain favorit dan terbaik dalam acara tersebut.
Pemahaman dan pengetahuan tentang penerapan IPTEK tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian pemuda dan juga para penggiat batik untuk terus berinovasi memajukan industri batik Indonesia. (nov)
Referensi luar: